Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Mereka yang Menolak Lupa Jadi Korban Tes Bom Nuklir AS dan Inggris…



loading…

Sebuah demonstrasi di New York bulan ini saat para pihak yang terlibat dalam perjanjian pelarangan senjata nuklir bertemu di PBB. Foto/Darren Ornitz/ICAN

NEW YORK – Tumbuh besar di Kiribati, negara kawasan Pasifik, Oemwa Johnson mendengar cerita kakeknya tentang ledakan nuklir yang disaksikannya pada tahun 1950-an. Ledakan itu mengeluarkan panas yang dahsyat dan cahaya yang menyilaukan.

Dia mengatakan kepadanya bahwa orang-orang tidak diajak berkonsultasi atau diberi perlengkapan pelindung terhadap bom nuklir yang diledakkan oleh Amerika Serikat (AS) dan Inggris di Pulau Kiritimati, yang sekarang menjadi bagian dari Kiribati, beberapa dekade lalu.

Orang-orang di Kiribati menderita konsekuensi kesehatan yang serius akibat paparan radiasi dari uji coba bom nuklir pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, sebuah “warisan” yang menurut mereka berlanjut hingga hari ini.

Johnson mengatakan ada kurangnya akuntabilitas dan kesadaran tentang bagaimana uji coba senjata nuklir oleh negara-negara asing telah merugikan rakyat dan tanah airnya.

“Tidak masalah jika mereka adalah negara kepulauan yang sangat kecil, kisah mereka penting,” kata pria berusia 24 tahun itu.

Menurut Pace University International Disarmament Institute, antara tahun 1946 hingga 1996, AS, Inggris, dan Prancis melakukan lebih dari 300 uji coba senjata nuklir bawah laut dan atmosfer di wilayah Pasifik.

Kiribati, Polinesia Prancis, dan Republik Kepulauan Marshall termasuk di antara yang paling terdampak.

Selama beberapa dekade, negara-negara tersebut telah menyerukan keadilan atas dampak lingkungan dan kesehatan yang berkelanjutan dari pengembangan senjata nuklir.

Dorongan tersebut semakin intensif bulan ini ketika para pendukung perjanjian PBB tentang pelarangan senjata nuklir (TPNW)—termasuk banyak dari negara-negara Pasifik—bertemu untuk membahas perjanjian tersebut dan menyerukan ratifikasi yang lebih luas.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *