Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

5 Alasan Pendiri Zionis Theodor Herzl Gagal Meyakinkan Ottoman untuk Menjual Palestina



loading…

Kesultanan Ottoman menolak menjual Palestina kepada Zionis. Foto/TRT World

GAZA – Jauh sebelum Deklarasi Balfour yang kontroversial memicu penjajahan Palestina atas perintah Kekaisaran Inggris, salah satu pendiri Zionisme terkemuka, Theodor Herzl, memohon kepada negara Ottoman untuk mendirikan negara Yahudi.

Palestina dan rakyatnya merupakan bagian konstituen dari tanah Ottoman yang menghubungkan Pelabuhan Sublime di Istanbul dengan wilayah yang lebih luas, meliputi tiga tempat suci umat Islam yaitu Mekkah, Madinah, dan Yerusalem.

Sultan Ottoman juga merupakan khalifah Islam yang darinya mereka memperoleh otoritas dengan menguasai tempat-tempat suci di dunia Muslim. Namun, negara Ottoman juga memiliki masalah yang lebih duniawi – utang, dan utang yang sangat banyak.

Pada tahun 1896, Herzl merasakan adanya peluang real estat dan datang ke Istanbul dengan sebuah kesepakatan yang menurutnya tidak dapat ditolak oleh Sultan Ottoman Abdul Hamid II.

Negara Ottoman sedang terpuruk karena beban utang yang terakumulasi yang pada akhir abad ke-19 nilainya mencapai USD11,6 miliar saat ini.

Utang tersebut dikendalikan melalui sebuah badan yang disebut Administrasi Utang Publik Ottoman, yang mewakili kekuatan-kekuatan Eropa seperti Inggris, Prancis, Jerman, Austria, Italia, dan Belanda. Hal ini memberi kekuatan kolonial Eropa tingkat kendali di dalam negara Ottoman yang pada akhirnya terbukti menjadi kehancurannya.

5 Alasan Pendiri Zionis Theodor Herzl Gagal Meyakinkan Ottoman untuk Menjual Palestina

1. Tanah Palestina Bukan Miliki Ottoman

Menurut satu catatan sejarah, Herzl menawarkan untuk membayar £20 juta, yang setara dengan sekitar USD2,2 miliar dalam mata uang saat ini, kepada Sultan Ottoman untuk mengeluarkan piagam bagi orang-orang Yahudi untuk menjajah Palestina.

Uang sebanyak itu akan memangkas sekitar 20 persen beban utang Ottoman. Dilaporkan bahwa Herzel berseru bahwa “tanpa bantuan kaum Zionis, ekonomi Turki tidak akan memiliki peluang untuk pulih.”

Para lawan bicara Herzl dengan Sultan Ottoman saat itu, Philip de Newlinski dan Arminius Vambery, skeptis bahwa Yerusalem sebagai tempat tersuci ketiga dalam Islam akan dijual begitu saja, tidak peduli seberapa gentingnya keuangan Ottoman.

Mereka benar. Sultan Abdul Hamid II menolak tawaran itu secara langsung pada tahun 1896, dengan mengatakan kepada Newlinski, “jika Tuan Herzl adalah teman Anda sebagaimana Anda adalah teman saya, maka sarankan dia untuk tidak mengambil langkah lebih jauh dalam masalah ini. Saya tidak dapat menjual sehelai tanah pun, karena itu bukan milik saya, melainkan milik rakyat saya. Rakyat saya telah memenangkan Kekaisaran ini dengan memperjuangkannya dengan darah mereka dan telah menyuburkannya dengan darah mereka. Kami akan kembali menutupinya dengan darah kami sebelum kami membiarkannya direbut dari kami.”

Kata-kata Sultan itu bersifat profetik. Namun, meskipun konflik itu kadang-kadang digambarkan sebagai konflik kuno yang sudah berlangsung lebih dari 1000 tahun, akarnya jelas berasal dari akhir abad ke-19.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *