Para Pilot Israel yang Bunuh Nasrallah Takut Dituntut dalam Kejahatan Perang



loading…

Jet tempur Angkatan Udara Israel yang terlibat dalam serangan yang menewaskan Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah lepas landas dari pangkalan udara Hatzerim. Foto/IDF

TEL AVIV – Para pilot dalam skuadron Israel yang melakukan serangan udara di Beirut yang menewaskan Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah sebelumnya ikut serta dalam protes antipemerintah karena khawatir reformasi peradilan dapat menyebabkan personel militer dituntut atas kejahatan perang.

Serangan udara besar-besaran Jumat lalu, yang menurut Israel menargetkan markas bawah tanah Hizbullah, meratakan empat bangunan tempat tinggal di pinggiran selatan ibu kota Lebanon, Dariyeh.

Lebih dari 1.000 orang telah tewas, menurut Kementerian Kesehatan Lebanon, sejak Israel meningkatkan serangan udara awal bulan ini.

Sementara itu, lebih dari 1,2 juta orang, hampir seperempat dari populasi, telah mengungsi, menurut Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati.

Pada Jumat pagi, jet tempur Israel melancarkan serangan besar-besaran lebih lanjut di Beirut dalam gelombang serangan yang menurut beberapa laporan menargetkan calon penerus Nasrallah, Hashem Safieddine, kepala dewan eksekutif Hizbullah.

Serangan yang menewaskan Nasrallah, dengan nama sandi Operasi Orde Baru oleh Angkatan Udara Israel, dilakukan oleh Skuadron ke-69.

Rekaman yang dirilis militer Israel setelah serangan itu tampak memperlihatkan delapan jet tempur F-16 yang dipersenjatai dengan bom penghancur bunker di landasan pacu di pangkalan angkatan udara Hatzerim di Israel selatan.

Pilot di Skuadron ke-69 memainkan peran penting dalam protes terhadap pemerintah Israel pada Maret 2023 di tengah peringatan reformasi peradilan yang diusulkan dapat membuat personel militer menghadapi tuntutan di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Tiga puluh tujuh dari 40 pilot cadangan skuadron mengatakan saat itu bahwa mereka tidak akan mengambil bagian dalam latihan sebagai protes atas apa yang oleh para kritikus koalisi sayap kanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu digambarkan sebagai “kudeta peradilan”.

Para cadangan senior menyatakan kekhawatiran reformasi tersebut, dengan merusak independensi dan legitimasi sistem peradilan, dapat membuat personel militer bertanggung jawab atas penyelidikan dan penuntutan atas kejahatan perang oleh ICC.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *