loading…
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo meminta pemerintah perkuat ketahanan pangan. Foto/SINDOnews
Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo saat diskusi terkait “Pembangunan Sektor Pertanian Indonesia” yang diselenggarakan bersama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, FKPPI, dan HIPMI, kemarin.
”Kita semua tentu menyadari pangan sebagai kebutuhan dasar manusia, merupakan komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, sosial, dan keamanan nasional,” ujarnya, Sabtu (14/9/2024).
Menurut Pontjo, ketahanan pangan sudah seharusnya menjadi kepentingan nasional utama yang harus terus diperjuangkan. Terlebih karena Program Sustainable Development Goals (SDGs) yang merupakan komitmen global dan Indonesia menetapkan salah satu tujuannya pada 2030 yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan.
Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (GFSI) dari The Economist Intelligence Unit (EIU) pada Desember 2022, kata Pontjo, ketahanan pangan Indonesia mendapatkan skor 60,2 yang berada di posisi 63 dari 113 negara. ”Ketersediaan pangan Indonesia dinilai kurang baik dengan skor 50,9. Keadaan ini tentu masih memprihatinkan,” ucapnya.
Ketua Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti ini menyebut, konsep swasembada pangan dipandang sebagai salah satu cara efektif dalam mencapai ketahanan pangan suatu negara, sehingga negara tersebut memiliki kontrol yang besar terhadap pasokan pangannya dan tidak tergantung pada pasar internasional.
“Potensi sektor pertanian yang besar, Indonesia berpeluang untuk swasembada pangan. Sayangnya, potensi besar ini belum diberdayakan secara optimal. Pembangunan sektor pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani, menjaga ketahanan pangan, dan kontribusinya pada pendapatan nasional,” paparnya.
Hasil Sensus Pertanian 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kondisi pertanian di Indonesia tidak banyak berubah selama 10 tahun terakhir, dan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan, antara lain, masih didominasi tenaga kerja tua, minim menggunakan teknologi, penyusutan lahan pertanian, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Termasuk akses petani terhadap permodalan, terkait keterpaduan antar sektor atau koordinasi serta sinergi antarsektor.
”Menghadapi berbagai masalah tersebut, maka penerapan sains dan teknologi yang paling produktif tetapi ramah lingkungan dalam pembangunan sektor pertanian merupakan suatu keniscayaan,” katanya.
Penerapan sains dan teknologi pertanian memungkinkan para petani meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi beban kerja manual, dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Selain itu, teknologi informasi dan komunikasi juga memainkan peran penting dalam menghubungkan petani dengan informasi pasar dan memfasilitasi akses ke platform belanja online, yang berkontribusi pada peningkatan pemasaran dan penjualan produk pertanian.
”Meskipun ada komitmen pemerintah untuk penerapan teknologi pertanian, namun mekanisasi dan adopsi teknologi masih cukup rendah, dengan 87,59% rumah tangga petani masih memilih untuk menggunakan metode konvensional dalam bertani,” ujarnya.
(cip)