loading…
Pelayanan publik pada Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 yang diserang ransomware belum pulih sepenuhnya hingga hari ini sejak diretas pada 20 Juni 2024. Foto/Freepik
Masukan pertama yakni mendorong pemerintah untuk segera mengadopsi standar keamanan yang ketat untuk semua sistem infomasi lembaga pemerintahan. “Hal ini mencakup pembaruan perangkat lunak secara berkala, penggunaan sistem enkripsi yang kuat dan penerapan teknologi canggih untuk mendeteksi dan merespons ancaman dan serangan siber,” ujar Wibisono, Selasa (2/7/2024).
Dia membeberkan rekomendasi kedua yakni perlunya dilakukan evaluasi kebijakan sentralisasi data pemerintah pusat. “Desentralisasi penyimpanan dengan menggunakan platform cloud yang kredibel harus dilakukan untuk mengurangi risiko ransomware dalam skala besar seperti yang terjadi dalam kasus ini,” tegas alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Upaya pembenahan lainnya adalah dengan melakukan persiapan respons darurat terhadap ancaman siber. “Pemerintah perlu menyiapkan prosedur respons krisis untuk mengatasi ancaman serangan siber. Respons ini mencakup langkah-langkah mengisolasi serangan, memulihkan layanan dan memastikan kelangsungan operasional pemerintah”, ujar alumnus Turkish National Police Academy tersebut.
Diketahui, PDNS 2 dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). PDNS 2 mengalami peretasan yang berdampak pada terganggunya akses data 282 data kementerian, lembaga, dan instansi daerah. Penyerangan tersebut dilakukan oleh kelompok hacker LockBit 3.0 yang meminta tebusan senilai 8 juta US$ atau setara Rp131 Miliar.
Pemerintah diketahui hanya memiliki cadangan data sekitar 2 persen. Kominfo dan BSSN yang bertanggung jawab atas PDN tersebut dinilai gagal menjaga objek vital dan strategis tersebut menyebabkan potensi kerugian negara hingga triliunan rupiah.
(rca)