Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Sekitar Masalah Krusial Penafsiran Hukum UU Tindak Pidana Korupsi



loading…

Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa

Romli Atmasasmita

DUA masalah hukum dalam menafsirkan ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, masalah kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Kedua, tafsir mengenai unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Ketiga, penyalahgunaan wewenang penyelenggara negara. Keempat, masalah pembuktian ada/tidaknya PMH dan penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi.

Kerugian keuangan negara yang tercantum di dalam dua pasal, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor); tidak disangka telah mengalami perkembangan tafsir yang pesat baik dari Mahkamah Konstitusi RI (MKRI) maupun dari Mahkamah Agung RI (MARI).

Perkembangan tafsir hukum pertama berasal dari MKRI, yaitu di dalam Putusan MKRI Nomor 25/PUU-XIV/2016 telah mencabut frasa “dapat” dari rangkaian kalimat menimbulkan kerugian keuangan negara dalam Pasal 2 dan Pasal 3 karena dipandang tidak memiliki kepastian hukum dan bertentangan dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 45, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Bahwa frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara harus dibuktikan dengan kerugian negara yang nyata -acutal lost- bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara-potential lost.

Di dalam putusan MKRI aquo juga ditentukan bahwa selain BPK juga lembaga audit independen lain seperti BPKP dan auditor independen swasta dapat melakukan penghitungan kerugian keuangan negara.

Definisi kerugian keuangan negara tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara sebagai berikut: Kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Namun tafsir atas pengertian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara sekali-kali tidak dapat digolongkan sebagai unsur tindak pidana korupsi disebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara adalah hanya merupakan akibat dari terjadinya unsur perbuatan yangi dilakukan secara melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, atau tindakan pejabat/penyelenggara negara yang dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporas.

Dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa hukum pidana adalah diketahui secara universal, merupakan hukum pidana atas perbuatan (daadstrafrecht); bukan hukum pidana atas akibat dari suatu perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan.



You May Also Like

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *